Saya tadi pagi sampai siang menghadiri sebuah acara bertajuk arak-arakan geguritan “Ojo Diijoli Warisanku”, yaitu peluncuran sebuah karya geguritan/naskah sastra puisi Jawa di Balai Budaya Minomartani, Yogyakarta.
Naskah tersebut ditulis oleh seorang pustakawan ISI, seniman lukis ISI Yogyakarta, Mas Bambang Nursinggih. Orang baru dalam dunia geguritan, demikian kata para pembahas dalam forum itu. Namun demikian merupakan orang pertama tahun ini yang berhasil meluncurkan sebuah buku geguritan di Jogja, bahkan kata mas Bambang Sulanjari, di Indonesia. Berisi banyak gagasan tentang kritik sosial, keagamaan, sikap cinta, dan keprihatinan tentang alam.
Naskah tersebut lahir dari keprihatinan yang dalam mengenai dunia sastra Jawa yang tertinggal dan terpinggirkan oleh budaya kosmopolitan kapitalisme
Maka patut dibanggakan dengan penuh hormat sebuah pencapaian yang demikian itu, meski tidak meninggalkan juga penilaian yang cerdas dan bermartabat. Kalau dalam penilaian yang disampaikan Romo Barli mengatakan sekitar ada 150 daftar temuan hal-hal yang perlu diperbaiki, saya kira itu sebuah kewajaran yang masih bisa diterima.
Yang menarik juga adalah pembacaan beberapa judul geguritan yang disampaikan dengan berisi dan padat oleh sastrawan Jawa yang hadir di acara itu. Salah satunya adalah “Sangsaya Cengkar” yang menjadi terasa kuat maknanya oleh gaya penghayatan Mas Triman, penyair dari Magelang, waktu membacakannya. Apalagi diiringi gamelan yang mengikat nuansa magis dan mengayun-ayun. Membawa kita ke alam yang sudah semakin kering, gersang dan panas membara, yang tumbuh hanyalah pohon yang layu dan kurus, tidak satupun burung-burung indah menghinggapinya dan menyanyikan merdu kicauannya, karena sumber-sumber air menutup dan sawah-sawah menjadi beton.
23 April, 2005
0 Comments