Service Level Agreement tidak pernah ditetapkan dan diterapkan secara sungguh-sungguh dalam kerangka layanan pelanggan di bisnis telekomunikasi.
XL dan Telkomsel, satu contoh, dalam mengeluarkan produk yang bernama jempol, bebas, AS patut dicurigai telah melanggar satu pasal dari SLA.
Dengan membuat produk baru yang diiklankan dengan gencar dan menarik banyak sekali pembeli/ pelanggan baru, sama sekali tidak memberikan promise mengenai success call percentage/success call level.
Mereka menyembunyikan ifnormasi megnenai salah satu kelemahan produk tersebut dan kapabilitas jaringan yang sanggup ditangani oleh operator. Dengan demikian bisa dicurigai, mereka telah menipu pelanggan. Dan tentu saja mereka emngeruk keuntungan yang banyak dari menipu cara demikian itu.
Sekarang waktunya untuk bertanya secara langsung kepada kedua perusahaan itu dan juga perusahaan-perusahaan lain sejenis yang menjanjikan banyak kepada pelanggan, apakah mereka itu memberikan jaminan yang serius dan cukup terhadap kualitas layanan yang dijanjikan. Mereka harus menjawab dengan jujur sehingga pelanggan mereka memahami benar situasi yang sesungguhnya sebelum memutuskan untuk membeli layanan.
Kapasitas pelangan yang mampu dengan baik dilayani oleh jaringan XL, TELKOMSEL, harus secara jelas disampaikan kepada khalayak umum. Jangan sampai ketika sudah terlanjur membeli salah satu produk malah tidak bisa dipakai gara-gara overload, sms tidak nyampe, telpon tidak nyambung padahal sinyal penuh.
Kegagalan panggilan telpon dan pengiriman sms adalah suatu kegagalan layanan. Dalam kerangka public service/customer service, bisa dianggap sebagai malapraktek. Pelakunya bisa dituntut dengan berbagai tuduhan. Yang ringan penipuan, yang berat subversiv.
Provider seluler, pembuat kartu dan penjual kartu tentu saja sngat diuntungkan dari model bisnis menipu seperti itu. Bayangkan saja keuntungan penjual kartu 100-1500/kartu. Laku 1000 kartu setara dengan 1-1,5 juta. Untuk kartu perdana bisa 30-50 ribu/kartu.
Pembuat kartu untungnya 10-15%. Kalau 1 bulan ada 1juta kartu keluar, dengan nominal 20 ribu, berarti ada pendapatan 20 M 1 bulan setara dengan keuntungan sebesar 2-2,5 M perbulan. Sungguh proyek menipu yang sangat menggiurkan. Peduli amat dengan pelanggan yang mengeluh tidak bisa sms dan telpon. Yang penting kartu sudah terjual. ‘barang yang sudah dibeli tidak dapat ditukar atau dikembalikan’ begitu pikiran pebisnis kartu seluler barangkali.
Apakah ini berkaitan dengan calon-calon presiden? Tidak ada yang tahu kecuali mereka. Pebisnis kartu dan calon presiden.
Kita hanya bisa menduga-duga saja. Melihat jaringan bisnis yang berjalin dengan mereka dan orang-orang yang mengadakan dana bagi calon presiden. Apalagi kalau melihat drama yang menampilkan aktor-aktor politik nasional itu, asperti akbar, mega, hasyim, sby, kalla, dan petinggi golkar yang saling silang pendapat di muka umum.
Ada sesuatu yang patut untuk dicurigai, ada sesuatu yang perlu diselidik dengan lebih dalam. Kacamata yang bisa dipakai tentu saja sejarah politik dan seajrah ekonomi dengan mengukur riwayat masing-masing personel yang terlibat di dalamnya. Mesti diselidiki dengan cermat. Mudah-mudahan ada catatan-catatan peristiwa yang bisa dipakai.
Yang perlu digarisbawahi dengan tebal adalah pernyataan bahwa KPU sendiri tidak memiliki wewenang yang cukup untuk menindak calon presiden/wakil presiden yang melanggar ketentuan dana kampanye. Bahkan menyatakan bahwa mereka akan membiarkan saja kasus pelanggaran dana fiktif berlalu. Barangkali mereka memang tidak berani melakukan tindakan apapun terhadap pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh capres-cawapres. Bagaimana kira-kira akibat langsung dan tidak langsung dari tindakan KPU yang demikian itu?
Akibat langsungnya adalah kita menjadi jelas bahwa KPU telah mengalami kebutaan mata dan pikiran karena tidak melakukan hal-hal yang patut dilakukan dan pura-pura tidak melihat apa yang terjadi.
Akhir bulan ini kita akan sampai pada pertunjukan akhir babak penutup yang bisa digunakan untuk menilai secara lengkap mereka yang duduk di KPU, capres-cawapres, pebisnis kartu seluler dan politikus nasional itu. Semuanya akan menjadi jelas pada saat itu. Minus barangkali Gus Dur yang sedang stroke. Atau barangkali sudah meninggal pada saat itu. Kita tidak tahu.
3 September, 2004
0 Comments