::Catatan harian seorang Gadis::
Aku hanya memiliki kamu, sepotong hati.
Gadis malang sepertiku tiada teman kecuali sepotong hati. Sangat malang dan sebatang kara menyeret langkah di lorong belantara beton dan asap. Ayah bunda kakak adik, teman saudara, berjarak jauh dari sisiku. Pun belahan jiwa.
Sepotong hati, hanya padamu aku berbagi. Gadis malang sepertiku kesunyian,kesendirian, siang keterikan, malam ketemaraman. Menggigil aku pada sepotong hati. Tiada yang mendengar suara batinku kala ingin menjerit diredam gelisah jiwa. Tiada yang merengkuh bahuku di dadanya, merebahkan penat kepalaku dibahunya, mengusap air mataku, kala lemah insani meluruhkan ketegaran hati.
Adakah yang lebih dekat selain teman sejati seperjuangan, selain sepotong hati. Aku menangis kamulah yang mengusap bening air mata di pipiku. Aku tertawa kamulah yang mengerti apa yang membahagiakan jiwaku. Aku marah, aku takut, aku damai, aku nelangsa, kamu ada di sini. Sepotong hati, setia di sisiku.
Kamu menyilakanku bicara apa saja dengan terbuka. Namun aku takut kamu menganggapku perempuan yang tidak dewasa, suka mengeluh tentang hidup dan merepotkanmu dengan mengadukan masalah-masalah yang seharusnya aku bisa selesaikan sendiri. Seperti kemarin kamu menulis untukku tentang masalah yang kamu hadapi, “aku tidak perlu merepotkanmu dengan mengeluhkan hal-hal itu. Sudah bukan waktunya lagi mengeluh tentang hidup. Ia hanya harus dijalani dengan tenang dan pasrah.” Begitukah juga aku harus bersikap?
Kamu bisa saja sedemikian santainya menjalani perputaran roda hidup. Sedemikian yakin pada nasib yang digariskannya. Tidak mengeluh hanya menjalani, bersikap apa adanya. Polos, lugu, itulah kamu. Kadang aku berpikir seperti apa seandainya kamu bergolak, permukaan danaumu bergelombang, irama sunyimu menjadi riuh. Pasti pemandangan yang eksotis. Tetapi kamu yang demikian itu amat langka. Kamu lebih banyak tenang dan dingin, danau yang tenang tak gampang membuat gelombang bahkan riak kecil di permukaannya. Seorang yang kuat dan teguh.
Apakah benar kamu tidak pernah mengeluh tentang hidup. Dalam keterbatasan dan kesederhanaan kamu tetap santai menjalaninya. Aku takut, kamu sebenarnya terlalu santai. Santai dan bukannya tenang. Aku takut, kata santai itu yang akan menggilasmu. Sementara orang lain berlari kencang kamu masih saja duduk di pinggiran, orang lain sudah sampai di garis finis kamu masih saja tertinggal di belakang. Aku takut.
Kamu bahkan tidak takut kehilangan aku. Cintaku. Kamu begitu pasrah pada yang memberi cinta, yang maha cinta, katamu. Aku masih ingat email pengakuanmu untukku dua bulan lalu, “Aku harus jujur kepadamu, ya. Aku pikir memang seharusnya. Tetapi bagaimana aku bisa jujur kalau aku sendiri tidak tahu apa-apa tentang yang menimpaku akhir-akhir ini. Apa yang aku tahu hanyalah bahwa kamu telah tanpa ampun menyerbu kesadaranku, akhir-akhir ini. Membuat ruang kosong yang rentan di dalam diriku. Itu yang aku benar-benar tahu. Apa itu namanya, aku tidak tahu. Karena aku pun tidak tahu siapa kamu. Yang jelas aku sendiri mengingatkan diriku, bahwa keadaan yang seperti ini sangat berbahaya bagi kesadaranku. Mungkin aku memang terlalu berhati-hati dan tidak membiarkan diriku diserbu oleh hal-hal yang tidak atau belum aku kenal. Aku terlalu menjaga diriku.
Aku telah berusaha menetralkan pengaruh keberadaan dirimu dengan lebih banyak melakukan pengingatan akan tuhan. Tetapi rupanya itu tidak banyak membantu. Tidak seperti yang aku harapkan. Apa yang bisa aku lakukan? Akhirnya aku memilih untuk membiarkan itu menempti ruang pribadiku. Aku pikir biarlah kamu merasuk asal tidak terlalu jauh ke dalam kesadaranku. Aku hanya takut bahwa aku pada akhirnya mulai mengalami masa terikat perasaan terhadapmu. Aku takut.
Akhirnya aku hanya bisa berdoa pasrah kepada tuhan. Kalau memang apa yang aku alami ini cinta, tanamkanlah ia sebagai pohon yang baik, akarnya teguh ke bumi, daunnya rimbun meneduhi, dan buahnya bermusim-musim tetap dapat kupetik. Kalau memang yang aku alami ini nafsu, biarkanlah ia menjadi pohon yang buruk, akarnya retas, gampang lepas. Pohon keringnya berdaun layu dan cepat tumbang.
Aku sudah berusaha jujur. Aku berharap sesuatu yang berat bagiku, kini sudah terlepaskan. Aku mohon maaf kalau ini mengganggumu. Mudah-mudahan tuhan meberikan maaf atas kelancanganku menduakannya.” Begitu tulismu dalam email yang mendebarkanku waktu itu.
Kamu tahu, apa yang aku rasakan ketika aku membacanya. Aku membubung dengan sebuah kelegaan yang aneh. Krena sejak awal perkenalan kita, aku berharap bahwa ini terjadi. Aku merasa menang. Aku merasa telah menguasai hatimu. Sebuah kemenangan sekaligus dengan ketakutan yang mengiringi. Akankah bisa menjadi satu, kamu dan aku?
Kamu takut merasa terikat perasaan kepadaku, aku takut ikatanku terhadapmu lepas. Kita memang sama-sama takut. Ketakutan yang berbeda pada akhir yang sama.
Aku takut kamu bisa dengan mudah melupakanku pabila sesuatu yang terburuk terjadi di antara kita. Aku takut yang demikian, sementara kamu tidak. Kamu takut aku akan begitu mempengaruhi ruang batinmu. Kamu takut yang demikian, sementara aku tidak.
Mengapa aku merasa begitu takut kehilanganmu. Apakah karena aku merasa begitu membutuhkan kehadiranmu, sementara kamu tidak demikian. Aku takut kehilangan cintamu, sementara kamu menganggap adalah lebih baik memberi cinta kepada seorang perempuan yang kamu inginkan meskipun perempuan itu tidak memberimu cinta yang kamu harapkan. Bagimu cinta itu milik tuhan yang bisa diberikan kepada siapa saja tanpa mengharapkan balasan. Bagiku, cinta itu memberi untuk memiliki, memuja untuk mengikat, menyatukan benang-benang jiwa.
Sesungguhnya ku takut. Aku takut kamu tidak sungguh-sungguh mencintaiku. Aku takut kamu hanya bermain-main dengan perasaan terhadap perempuan, terhadapku. Kamu hanya ingin berpetualang dengan perasaan perempuan, sesuatu yang belum pernah kamu alami.
Bayangan ketakutan itulah yang selalu menghantuiku. Menggodaku untuk berpikir yang buruk tentangmu. Seperti waktu aku telpon kamu mengabarkan keberhasilanku menduduki jabatan baru di kantor, yang kamu katakan hanya biasa saja, kamu menanggapi biasa saja, memadamkan semangatku yang mengobar. Mengapa kamu tidak memberi kata yang menyemangatiku? Kamu membiarkan aku. Aku berpikir kamu sengaja menghindari terlibat dalam kebahagiaanku. Apalagi setelah itu aku mendapat kabar dari temanmu kamu pindah rumah di tepi gunung. Tanpa mengabariku. Tidak ada telepon untuk kuhubungi. Kamu menjauh dengan sengaja. Emailmu tidak lagi muncul. Teleponmu tidak pernah menyapaku lagi. Aku marah diliput duka. Ingin menangis saja. Keping hatiku mulai berkerut menyusut. Sedih tentangmu.
Sekali telepon dan emailmu muncul, hatiku terkembang, jiwaku menyejuk. Lalu kutanya tentang kepergianmu, ketiadaanmu selama ini. Kamu hanya mengatakan sedang malas, tidak mood. Hah…? Malas….? Tidak mood…?….Aku juga. Memangnya hanya kamu yang bisa begitu. Seperti terjun bebas, hatiku mengerut. Keping jiwaku retak. Aku marah. Kesal. Lalu luka.
Engkau
Seperti langit runtuh di depan beranda
Duri dalam jantung
Menusukkan sekarat tanpa maut
Jiwa terbawa tubuh tersiksa
Yang tersisa tinggal dendam
Kesumat yang membakar lumatTidakkah engkau mengerti
Kalau bukan karena kasih sayang kehidupan
Sudah aku musnahkan engkau berpunah
Aku tidak lagi mengerti tentangmu, tentang apa maumu. Tidak bisa lagi tindakanmu kupahami kehendaknya. Raguku merebak, yakinku memudar, lalu aku menemukan dirimu yang sesungguhnya, yang keliru. Atau aku sejak awal hanya membohongi diriku sendiri? Meyakin-yakinkan diriku tentang dirimu yang aku bayangkan. Bayang-bayang yang menjerat dan menjebakku.
Jadi buat apa aku mengkerangkeng hatiku sedemikian rupa untukmu. Aku seperti mengusap nafas malam di kebisuan, menangkap bianglala dalam kehausan. Apa yang sesungguhnya aku cari? Jangan menyiksa diri serupa itu. Aku tahu apa yang kuingin dan cari. Lalu lakukan sesuatu. Tertawalah, berteriaklah jangan menangis lagi. Tak ada gunanya. Masih banyak air mata yang bermanfaat dari pada menangisi sedihku kini. Kalau aku merasa lebih baik dengan melupakanmu, mengapa tak aku lupakan saja kamu?
Aku akhirnya capek juga. Di titik kulminasinya yang melelahkan. Mendaki gunung kesabaran, tebing hati kecuraman. Tak, tiada, tidak sanggup lagi. Tak dapat lagi aku memahamimu. Aku hanya ingin berbagi denganmu. Kuingin kamu berbagi denganku, suka atau dukamu padaku, agar kita yang berjarak dalam hati yang rentan dapat saling menjaga. Tapi perhatian itu sirna, bayangmu kian pudar, tegurmu kian sayup. Pegangan tanganku goyah, pijakan kakiku gemetar hilang seimbangnya. Lalu lepas. Aku terjun bebas. Biar aku kepak sayap-sayapku, mencari ruang baru keleluasaan. Pergi dalam ketidakmengertian pada pohon yang kita bicarakan. Atau pohon yang terlupakan?
Pohon itu, pohon cinta atau pohon nafsu? Kamu sendiri yang dahulu bertanya. Dulu yang ingin kumengerti, kini semakin tidak kumengerti. Apa yang sedang kita alami, apa yang sedang aku dan kamu alami? Aku…. Kamu …… Ah sudahlah. Mungkin pohon itu terlalu cepat tumbuh dan terlalu cepat tumbang.
Aku merasa kepincangan. Aku merasa selama ini hanya aku yang menjagai dan merawat pohon istimewa kita. Tak ada inginmu jua mengisi. Jadi… sudahlah. Kita menang bukan kanak-kanak lagi, yang damai dan jujur, yang tidak mengiyakan apa yang tidak disukainya, yang tidak menyayangi yang dibencinya. Kita ini takut ketinggalan jaman, sehingga membenci yang kita cintai, dan mengiyakan yang tidak kita ketahui.
Sudahlah. Aku merasa lelah bersabar kepadamu. Kalau tidak kamu beri aku di mana lega. Suram cahayamu terkasa waktu. Cahayamu meredup. Dian di tengah ruang kaca berlapis itu terbenam di dasar samudra. Bertumpuk gelap di atas gelapnya. Maka cahayaku tidak sanggup menembus ke dasarnya. Kamu menyendiri. Mengasingkan diri dari keramaian manusia dan tiada bersentuhan dengan jasad dan akal mereka. Kamu menjadi tiada. Maka tiada lagi pemujaanmu terhadapku dan tiada lagi pemujaanku terhadapmu. Tiada tempatmu meramahi seonggok hatiku. Kamu meniadakanku sampai saatnya kamu membiasakanku. Lalu bagiku, cinta itu ….. pergi.
apakah cinta tentangmu
selalu adalah keletihan dan kegelisahan
yang terus terseret dalam setiap langkah
apakah cinta tentangmu
selalu adalah kemarahan dan ketakutan
yang menyesak dalam ketidakpahaman
apakah cinta tentangmu
selalu adalah pengorbanan dan ketundukan
yang harus dipaksakan
apakah cinta tentangmu
selalu adalah pertanyaan yang tak terjawab
apakah cintaku tentangmu itu
selalu adalah akan hadir cinta yang lain
yang lebih memuja tentangmu
sedang aku adalah yang selalu tidak
karena sesungguhnya
untukmulah engkau
dan untukkulah aku
tidak akan aku puja apa yang kau puja
dan tidak akan engkau puja yang aku puja
Aku membubung dengan sebuah kelegaan yang aneh.
Bener-bener mirip ama kisah yg gw posting di blog. Bedanya hubungan gw ama dia belum serumit gadis di cerita ini kayanya. Tapi bener2 gw banget ni :))
Thx ya udah mampir ke blog gw…
Blognya ta link ya…
he he he …..
link aja …as you wish
hmm..
salam dari warga BLOGFam ^_^
btw, ceritanya bagus! udah ada yg diterbitkan?
abe poetra said…
hmm..
salam dari warga BLOGFam ^_^
btw, ceritanya bagus! udah ada yg diterbitkan?
——————————————-
terimakasih…..
insya allah akhir tahun ini mau nerbitkan bukunya…
wuih!….
bagus tulisannya